FARMAKOLOGI
ENZIM DAN KORTOKOSTEROID
Disusun Oleh :
( Kelompok 16 )
Ristiana Laraswati (13032)
Santi Erdi (13033)
AKADEMI
KEBIDANAN YASPEN TUGU IBU
Jl. Taruna Jaya No. 34A Bulak Sereh
Cibubur Jakarta Timur
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya,
kami sebagai tim penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya
dan tepat pada waktunya.
Makalah ini
berjudul “Farmakologi Enzim dan Kortikosteroid”, untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh dosen pembimbing mata kuliah KDK II. Selain itu juga, makalah
ini diharapkan mampu menjadi sumber pembelajaran bagi kita semua untuk mengerti
lebih jauh tentang farmakologi enzim dan kortikosteroid, mengenai farmako kinetiknya,
farmako dinamiknya, biotransformasinya, ekskresinya, dll .
Makalah ini
dibuat dengan meninjau beberapa sumber dan menghimpunnya menjadi kesatuan yang
sistematis. Terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak yang menjadi sumber
referensi bagi kami. Terimakasih juga kepada dosen pembimbing dan semua pihak
yang terkait dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah
ini dapat berguna bagi pembaca sekalian. Kami dari tim penyusun menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari bentuk penyusunan maupun
materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Jakarta, 10
Maret 2013
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................
1.1 LATAR BELAKANG.................................................................................................
1.2 RUMUSAN
MASALAH.............................................................................................
1.3 TUJUAN......................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................
2.1 ENZIM.........................................................................................................................
2.1.1
Farmakokonetik
Enzim....................................................................................
2.1.2
Farmakodinamik
Enzim...................................................................................
2.1.3
Fungsi Enzim...................................................................................................
2.1.4
Kegunaan Enzim..............................................................................................
2.1.5
Efek Samping...................................................................................................
2.1.6
Obat..................................................................................................................
2.1.7
Spesilite............................................................................................................
2.2 KORTIKOSTEROID...................................................................................................
2.2.1
Farmakokinetik
Kortikosteroid........................................................................
2.2.2
Farmakodinamik
Kortikosteroid......................................................................
2.2.3
Biotransformasi
Kortikosteroid.......................................................................
2.2.4
Ekskresi............................................................................................................
2.2.5
Indikasi.............................................................................................................
2.2.6
Kontra Indikasi.................................................................................................
2.2.7
Dosis................................................................................................................
2.2.8
Contoh Obat.....................................................................................................
BAB III PENUTUP.................................................................................................................
3.1 KESIMPULAN............................................................................................................
3.2 SARAN........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ENZIM
Enzim atau fermen
adalah senyawa-senyawa organik, lazimnya protein yang dapat mengakibatkan atau
mempercepat reaksi biokimia berdasarkan
proses katalisa. Enzim ini hanya bekerja sebagai katalisator organ terhadap
reaksi-reaksi dari subtrat spesifik. Kegiatan enzim tergantung kepada suhu, derajat keasaman (pH)
dan konsentrasi ion-ion.
Nama dari enzim
dibentuk dari nama subtrat atau nama reaksi yang dipercepatnya, dengan
menambahkan akhiran ase.
Urease : enzim pengurai ureum
Protease : enzim pengurai protein
Lipase : enzim pengurai lemak/ lipida
Reduktase : enzim yang mempercepat reduksi
Hidrolase : enzim yang mempercepat hidrolisa
2.1.1 Farmakokinetik Enzim
Mekanisme reaksi enzimatik untuk
sebuah subtrat tunggal. Enzim (E) mengikat substrat (S) dan menghasilkan produk
(P).
Enzim dapat
mengatalisasi reaksi dengan kelajuan mencapai jutaan reaksi per detik. Sebagai
contoh, tanpa keberadaan enzim, reaksi yang dikatalisasi oleh enzim orotidina
5'-fosfat dekarboksilase akan memerlukan waktu 78 juta tahun untuk mengubah
50% substrat menjadi produk. Namun, apabila enzim tersebut ditambahkan, proses
ini hanya memerlukan waktu 25 milidetik. Laju reaksi bergantung pada kondisi
larutan dan konsentrasi substrat. Kondisi-kondisi yang menyebabkan denaturasi
protein seperti temperatur tinggi, konsentrasi garam yang tinggi, dan nilai pH
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menghilangkan aktivitas enzim.
Sedangkan peningkatan konsentrasi substrat cenderung meningkatkan aktivitasnya.
Beberapa
enzim beroperasi dengan kinetika yang lebih cepat daripada laju difusi. Hal ini
tampaknya sangat tidak mungkin. Beberapa mekanisme telah diajukan untuk
menjelaskan fenomena ini. Beberapa protein dipercayai mempercepat katalisis
dengan menarik substratnya dan melakukan pra-orientasi substrat menggunakan
medan listrik dipolar.
2.1.2 Farmakodinamika Enzim
Dinamika
internal enzim berhubungan dengan mekanisme katalis enzim tersebut. Dinamika
internal enzim adalah pergerakan bagian struktur enzim, misalnya residu asam
amino tunggal, sekelompok asam amino, ataupun bahwa keseluruhan domain protein. Pergerakan
ini terjadi pada skala waktu yang bervariasi, berkisar dari beberapa femtodetik
sampai dengan beberapa detik. Jaringan residu protein di seluruh struktur enzim
dapat berkontribusi terhadap katalisis melalui gerak dinamik. Gerakan protein
sangat vital, namun apakah vibrasi yang cepat atau lambat maupun pergerakan
konformasi yang besar atau kecil yang lebih penting bergantung pada tipe reaksi
yang terlibat. Namun, walaupun gerak ini sangat penting dalam hal pengikatan
dan pelepasan substrat dan produk, adalah tidak jelas jika gerak ini membantu
mempercepat langkah-langkah reaksi reaksi enzimatik ini. Penyingkapan ini juga
memiliki implikasi yang luas dalam pemahaman efek alosterik dan pengembangan
obat baru.
2.1.3 Penghasil enzim
Enzim dihasilkan oleh :
·
Mikroorganisme (bakteri atau jamur),
misalnya lipase, amilase, streptokinase, penisilinase, dll.
·
Tumbuh-tumbuhan, dimana zat-zat ini
dipisahkan dan kadang-kadang dalam bentuk kristal, misalnya papase (dari carica
papaya) dan bromelin (dari annanas sativum)
Berdasarkan senyawa atau gugusan yang
terkandung dalam enzim, maka enzim dapat dibedakan atas :
·
Gugus protein, disebut juga apo enzim
·
Gugus non protein, disebut juga gugusan
prostetik atau koenzim. Kelompok ini berperan dalam metabolisme sel-sel tubuh.
Contohnya vitamin B1, nikotinamida, dll.
2.1.4 Fungsi
Enzim
Enzim- enzim berfungsi dalam :
·
Proses pencernaan dengan menguraikan
lemak, protein dan karbohidrat
·
Reaksi-reaksi yang bertalian dengan
proses pernapasan
·
Efek-efek dari vitamin berkenaan dengan
kerja dari enzim-enzim, misalnya defisiensi suatu vitamin, sebenernya
kekurangan enzim
·
Keseimbangan hormon-hormon supaya
terpelihara dengan sintesa-sintesa hormon atau penguraian hormon yang
berlebihan oleh antagonisnya, misalnya kelebihan hormon insulin diurai oleh
insulinase : kumulasi hormon-hormon nor adrenalin atau aserilkoin pada
organ-organ ujung diurai oleh MAO dan kolinesterasi
·
Melindungi jaringan tubuh terhadap
efek-efek enzim yang dihasilkannya, misalnya zat perintang tripsin yang dapat
meniadakan kelebihan tripsin.
2.1.5 Kegunaan
enzim
·
Sebagai penolong dalam pencernaan
·
Membersihkan dan menyembuhkan luka-luka,
dengan cara mencernakan secara selektif jaringan-jaringan yang mati tanpa
merusak jaringan yang sehat, termasuk juga melindungi saluran darah yang
mengelilingi luka tersebut.
·
Menghilangkan radang atau bengkak yang
berguna pada pengobatan luka-luka.
·
Sebagai anti koagulasi, untuk
menguraikan molekul-molekul fibrin yang menyebabkan pembekuan darah dan
gumpalan-gumpalan darah pada pengobatan trombosis, tromboflebitis. Misalnya
streptokinase
Sebagai pembantu dalam diagnose
(diagnostic enzyme) :
1. Glukosa
oksidase, untuk menentukan kadar glukosa dalam urine pada diabetes
2. Uricase,
untuk menentukan kadar asam urat dalam darah, antara lain pada gangguan ginjal,
encok, dll.
3. Analisa
kadar enzim laktat dehidrogenase dalam serum darah, menenjukan adanya jaringan
yang mati disuatu tempat pada tubuh karena kekurangan darah, antara lain karena
adanya penyakit kanker atau thrombosis koroner.
2.1.6 Efek
samping
Efek sampingnya sedikit sekali, antara lain alergi
terhadap streptokinase atas dasar enzim adalah protein yang merupakan antigen
dan merangsang pembentukan antibodi. Tapi hal ini jarang sekali terjadi.
2.1.7 Obat
·
Enzim-enzim pankreas dan pepsin
·
Bromelin atau Ananase
Protease dari Ananac sativum,
yang berkhasiat juga sebagai anti radang
·
Papase atau prolase
Enzim
proteolitik yang didapatkan dari Carica papaya, yang juga berkhasiat sebagai
penghilang bengkak-bengkak
·
Streptokinase dan streptodornase
Diperoleh
dari bakteri streptococcus haemolyticus. Terutama streptokinase bersifat
fibrinolitik yang menguraikan fibrin, mengencerkan serta melarutkan nanah yang
kental dan darah yang beku. Penggunaan pada pengobatan thrombosis koroner
(infark jantung) dan menyembuhkan infeksi bernanah. Enzim ini mempertinggi efek
penggunaan antibiotika.
·
Fibrinolisin
Diperoleh
sebagai hasill penguraian enzim lain yaitu streptokinase terhadap
profibrinolisis atau plasminogen yang inaktif. Deperoleh dari plasma manusia. Efek sampingnya berupa reaksi
alergi.
2.1.7 Spesilite
No
|
Nama Generik
|
Nama Dagang
|
Sediaan
|
Produsen
|
1
|
Enzym Pencernaan
|
Lihat obat pencernaan
|
|
|
2
|
Bromelin / pencreatin
|
Benozym
Elsazym
|
Per tablet salut gula :
Bromelin + pancreatin + Ox
Bile
Per tablet salut gula :
Bromelin + pancreatin
|
Bernofarm
Otto
|
3
|
Papain / pancreatin
|
Vitazym
|
Per Dragee :
Papain + pancreatin + ox
bile +curcuma + liver extr + vitamin / mineral
|
Kalbe farma
|
4
|
Streptokinase (enzyme
fibrinolitik)
|
Fimaikinase
Streptase
|
250.000 IU, 750.000 IU.
1.500.000 IU/ vial
750.000 IU, 1.500.000 IU
/ vial
|
Kalbe farma
Dexa Medica
|
2.2
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid adalah suatu kelompok
hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai
tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar
hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak sistem
fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem
kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan
protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2
kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni:
1. Glukokortikoid
(contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat
pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil.
2. Mineralokortikoid
(contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air,
dengan cara penahanan garam di ginjal.
2.2.1
Farmakokinetik Kortikosteroid
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik.
Untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester kortisol dan
derivate sintetiknya diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang lama
kortisol dan ester diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat
mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi
afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein.
Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang
synovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.
Pada kejadian normal, 90% kortisol terikat pada dua jenis protein plasma
yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi
tetapi kapasitas ikatnya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi
kafasitas ikatnya relative tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal,
sebagian besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar kortikosteroid
meningkat jumlah hormone yang terikat albumin dan bebas juga meningkat ,
sedangkan yang terikat globulin sedikit mengalami perubahan. Kortikosteroid
berkompetisi sesamanya untuk berikatan denga globulin pengikat kortikosteroi;
kortisol mempunyai afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonyugasi dengan
asam glukuronad dan aldosteron afinitasnya rendah.
Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan kadar globulin
pengikat kortikosteroid, kortisol plasma total dan kortisol bebas sampai
beberapa kali. Telah diketahui bahwa hal ini tidak terlalu bermakna terhadap
fungsi tubuh.
2.2.2
Farmakodinamik Kortikosteroid
Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor
menembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik
glukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan
kemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan
berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada berbagai gen dan
protein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya. Pada
keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat dari ikatannya dengan DNA;
jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA. Perbedaan kerja
glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein
spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan
ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.
Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik
yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin
diperantarai oleh mekanisme nontranskripsi.
2.2.3
Biotransformasi Kortikosteroid
Biotransformasi steroid terjadi didalam dan diluar hati. Metabolitnya
merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang
aktif memiliki ikatan rangkap pada atom C4,5 dan gugus keton pada
atom C3. Reduksi ikatan rangkap C4,5 terjadi di dalam
hati dan jaringan ekstrahepatik serta menghasilkan senyawa inaktif. Perubahan
gugus keton menjadi gugus hidroksil hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil
reduksi gugus keton pada atom C3 melalui gugus hidroksinya secara
enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau asam glukuronad membentuk ester
yang mudah larut dan kemudian diekskresi. Reaksi ini terutama terjadi di hepar
dan sebagian kecil di ginjal.
Oksidasi gugus 11- hidroksil yang reversible terjadi secara cepat di hepar
dan secara lambat di jaringan ekstrahepetik. Untuk aktifitas biologiknya
kortikosteroid dengan gugus keton pada atom C11 harus direduksi
menjadi senyawa 11-hidroksil; sedangkan reduksi gugus keton pada atom C20
hanya memberikan senyawa dengan aktifitas biologik yang lemah.
Kortikosteroid dengan gugus hidroksil pada atom C17 akan
dioksidasi menjadi 17-ketosteroid yang tidak mempunyai aktifitas kortikosteroid
tetapi bersifat androgenik. Adanya sekresi 17-ketosteroid dalam urin dapat
dipakai sebagai ukuran aktifitas hormone kortikosteroid dalam tubuh.
2.2.4
Ekskresi
Setelah penyuntikan IV steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu 72 jam
di ekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada.
Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang di ekskresi mengalami metabolism
di hepar. Masa paruh eliminasi kortisol sekitsr 1,5 jam. Adanya ikatan rangkap
dan atom C1-2 atau subtitusi atom flour memperlambat proses metabolism dan
karenanya dapat memperpanjang masa paruh eliminasi.
2.2.5
Indikasi
2.2.5.1
Terapi Substitusi
Pemberian kortikosteroid disini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat
insufisiensi sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur
adrenal sendiri (insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder).
·
Insufisiensi adrenal akut
Keadaan ini umunya
disebabkan oleh kelainan pada adrenal atau oleh penghentian pengobatan
kortikosteroid dosis besar secara tiba-tiba.
·
Insufisiensi adrenal kronik
Kelainan
akibat operasi atau lesi korteks adrenal ini dapat diatasai dengan pemberian
20-30 mg perhari dalam dosis terbagi (20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada sore
hari). Banyak pasien memerlukan juga mineralokortikoid fluorokortison asetat
denga dosis 0,1 -0,2 mg perhari; atau cukup dengan kortison dan diet tinggi
gara. Terapi tergantung dari keadaan pasien dalam rasa kesegaran badannya (
well being), nafsu makan, berat badan, kekuatan otot, timbulnya pigmentasi,
tekanan darah dan tidak adanya hipotensi ortostatik.
·
Hiperplasia adrenal kongenital
Pada
penyakit turunan ini terjadi defisiensi aktifitas salah satu atau lebih enzim
yang diperlukan untuk biosintesis kortikosteroid. Karena produksi kortisol dan
atau aldosteron berkurang dan tidak terjadi reaksi umpan balik negative, maka
produksi hormon steroid lain bertambah. Dalam hal ini gejala klinik yang timbul,
hasil pemeriksaan laboratorium dan terapinya, tergantung dari jenis enzim yang
terganggu.
·
Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi
adenohipofisis
Gejala utama
insufisiensi adrenal ini adalah hipoglikemia, sedangkan keseimbangan air dan
elektrolit normal karena sekresi aldosteron tetap normal. Terapi subsitusi
dengan kortisol, pagi hari 20mg dan sore 10 mg, disesuaikan dengan siklus
diumal sekresi adrenal. Sesudah insufisiensi adrenal terkendali, dapat
ditambahkan tiroid. Sebab bila langsung diberikan tiroid tanpa kortisol mungkin
terjadi insufisiensi adrenal akut.
2.2.5.2
Terapi Non Endokrin
Di bawah ini dibahas beberapa penyakit yang bukan merupakan kelainan
adrenal atau hipofisis, tetapi diobati dengan glukokortikoid. Dasar pemakaian
kortikosteroid disisni adalah efek anti-inflamasinya dan kemampuan menekan
reaksi imun. Pada penyakit yang dasarnya respon imun, obat ini bermanfaat. Pada
keadaan yang perlu penanganan reaksi radang atau reaksi imun untuk mencegah
kerusakn jaringan yang parah dan menimbulakn kecacatan, pengguanaan
kortikosteroid mungkin berbahaa sehingga perlu disertai dengan penanganan tepat
bagi penyebabnya. Yang dipakai adalah preparat kerja singkat dan kerja sedang
misalnya prednisone atau prednisolone dengan dosis serendah mungkin. Kemungkinan
efek samping harus terus dimonitor.
·
Fungsi paru pada Fetus
Penyempurnaan
fungsi paru fetus dipengaruhi sekresi kortisol pada fetus. Pemberian
kortikosteroid dosis tinggi kepada ibu hamil akan membantu pematangan fungsi
paru pada fetus yang akan dilahirkan premature sehingga resiko terjadi
respiratory distress syndrome, perdarahan intraventrikular dan kematian
berkurang. Betamethasone atau Dexamethasone selama 2 hari diberiakan pada
minggu ke 27 sampai 34 kehamilan. Dosis telalu banyak akan menganggu berat
badan dan perkembangan kelenjar adrenal fetus.
·
Artritis
Kortikosteroid
hanya diberikan pada pasien atritis rheumatoid yang sifatnya progresif, dengan
pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat sehingga pasien tidak dapat bekerja,
meskipun telah diberikan istirahat, terapi fisik dan obat golongan anti
inflamasi nonsteroid.
·
Karditis Reumatik
Karena belum
ada bukti kortikosteroid lebih baik salisilat, sedangakan resiko penggunaan
kortikosteroid lebih besar, maka pengobatan karditis reumatik dimulai dengan
salisilat. Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan akut, pada pasien yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan salisilat saja, atau sebagai terapi
permulaan pada pasien dalam keadaan sakit keras dengan demam, payah jantung
akut, aritmia dan perikardithis.
·
Penyakit Ginjal
Kortikosteroid
dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik yang disebabkan lupus eritematosus
sistemik atau penyakit ginjal primer, kecuali amiloidosis.
·
Penyakit Kalogen
Pemberian
dosis besar (prednisone 1-2 mg/kg atau sediaan lain yang ekuivalen ) bermanfaat
untuk eksaserbasi akut; sedangakn terapi jangka panjang hasilnya bervariasi.
Glukokortikoid dapat menurunkan mordibitas dan memperpanjang masa hidup pasien
poliartritis nodosa dan granulomatosis Wegener.
·
Asma Bronkial dan Penyakit Saluran Napas lainnya
Respon asama
terhadap farmakoterapi bervariasi antar individu, sehingga dapat ditemuka
pasien yang resisten terhadap steroi meskipun jarang dan tidak menunjukkan
hasil baik dengan inhalasi steroid. Kortikosteroid saat ini diberikan segera
pada serangan akut pasien asam bronchial akut maupun kronik untuk mengatasi
secara cepat radang yang ternyata selalul terjadi pada saat serangan asma.
·
Penyakit Alergi
Gejala
penyakit alergi yang hanya berlangsung dalam waktu tertentu, dapat diatasi dengan
glukokortikoid sebagai obat tambahan disamping obat primernya; misalnya pada
penyakit serum, urtikaria, dermatitis kontak, reaksi obat, edema angioneurotik.
Pada reaksi yang gawat, misalnya anafilaksis dan edema angioneurotikglotis,
diperlukan pemberian adrenalin dengan segera. Pada keadaan yang mengancam jiwa
pasien, kortikosteroid dapat diberikan IV.
·
Penyakit Mata
Kortikosteroid
dapat mengatasi gejala inflamasi mata bagian luar maupun pada segmen anterior.
·
Penyakit Kulit
Bermacam-macam
kelainan kulit dapat diobati dengan sediaan steroid topical. Yang harus
diperhatikan ialah kadar kandungan steroidnya.
·
Penyakit Hepar
Uji klinis
menunjukkan bahwa glukokortikoid dapat memperpanjang masa hidup pasien nekrosis
hepar subakut dan hepatitis kronik aktif, hepatitis alkoholik dan sirosis non
alkoholik pada wanita.
·
Keganasan
Leukemia
limfositik akut dan limfoma dapat diatasi dengan glukokortikoid karena efek
antilimfositiknya. Prednisone biasanya digunakan bersama alkilator, antimetbolit
dan alkaloid vinka. Selam pengobatan selain evaluasi klinik perlu dilakukan
pemeriksaan darah dan sumsum tulang.
·
Gangguan Hematologik Lain
Anemia
hemolitik autoimun yang idiopatik maupun yang acquired member respon yang baik
terhadap terapi steroid. Obat ini tidak akn mengurangi hemolisis pada reaksi
transfuse, meski mungkin dapat mengurangi hemolisis yang diinduksi oleh obat
(drug-induced hemolisis).
·
Syok
Kortikosteroid
sering digunakan untuk mengatasi syok. Pada syok anafilaktik mungkin manfaatnya
adalah melalui efek permisif yaitu membuat adrenalin bekerja lebih baik
mengatasi syok tersebut, adrenalin tetap meripakn obat utama yang harus
diberikan. Untuk syok septic, sampai sekarang masih banyak pertentangan
pendapat.
·
Edema Serebral
Glukokortikoid sangat efektif untuk mencegah atau
mengobati edema serebral Karena parsit atau tumor otak, terutama pada kasus
metastasis.
·
Trauma Sumsum Tulang Belakang
Uji klinik
multisentra membuktikan manfaat metilprednisolone dosis besar (30 mg/kgBB dilanjutkan
infuse 5,4 mg/kgBB perjam selama 23 jam), sebelum 8 jam setelah trauma akan
mengurangi gejala neurologis.
2.2.6
Kontra Indikasi
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolute
kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat
dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relative dapat
dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat akan
diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu, kontraindikasi relative yaitu
diabetes mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau
gangguan sistem kardiovaskular lain patut diperhatikan. Dalam hal yang terakhir
ini dibutuhkan pertimbangan matang antara resiko dan keuntungan sebelum obat
diberikan.
2.2.7
Dosis
Kecuali untuk terapi subtitusi pada defisiensi, penggunaan kortikosteroid
pada awalnya lebih banyak bersifat empiris. Dari pengalaman klinis dapat
diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu diperhatikan sebelum obat ini
digunakan: (1) Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus
ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu kewaktu
sesuai dengan perubahan penyakit; (2) Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid
umunya tidak berbahaya; (3) Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa
adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat
besar; (4) Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis
melabihi dosis subsitusi, insiden efek samping dan efek letal potensial akan
bertambah; dosis ekivalen hidrokortisol 100 mg/hari lebih dari 2 minggu hampir
selalu menimbulkan iatrogenic cushing syndrome. Bila terpaksa pasien harus juga
diberi diet tinggi protein dan kalium. Awasi dan sadari resiko pengaruhnya
terhadap metabolisme, terutama bila gejala terkait telah muncul misalnya
diabetes yang resisten insulin, osteoporosis, lambatanya penyembuhan luka; (5)
Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan
terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti
inflamasinya; (6) Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang
dengan dosis besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat
mengancam jiwa pasien.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan
untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif.
Dosis ini ditentukan secara rial and error. Pada keadaan yang tidak mengancam
jiwa pasien, misalnya untuk mengurangi nyeri pada arthritis rheumatoid, dosis
awal harus kecil kemudian secara bertahap ditingkatkan sampai keadaan tersebut
mereda dan dapat ditoleransi pasien. Kemudian dalam periode singkat dosis harus
diturunkan bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul
kembali. Bila penggunaan bertujuan mengatasi keadaan yang dapat mengancam
pasien, misalnya pemfigus maka dosis awal haruslah cukup besar. Bila dalam
beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat dilipat gandakan. Dalam hal
ini, sebelum mengambil keputusan, dokter harus dapat mempertimbangkan antara
bahaya pengobatan dan bahaya akibat penyakit sendiri.
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar
dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik.
Besarnya dosis glukokortikoid yang dapat menyebabkan supresi hipofisis dan
korteks adrenal ternyata sangat bervariasi dan belum dapat dipastikan dengan
tepat. Umumnya, makin besar dosis dan maikn lama waktu pengobatan, makin besar
kemungkinan terjadinya supresi tersebut. Untuk mengurangi resiko supresi
hipofisis adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi cara pemberian obat, misalnya
dosis tunggal selang 1 atau 2 hari tetapi cara ini tidak dapat diterapkan untuk
semua penyakit. Sediaan yang masa kerjanya panjang juga tidak dapat diberikan
menurut cara ini.
2.2.8
Efek Samping Obat
Sampai saat ini ratusan produk kortikosteroid tersedia di pasaran. Layaknya
obat lainnya, kortikosteroid juga beresiko menimbulkan efek samping yang tidak
diharapkan, bahkan beberapa efek sampingnya dapat menimbulkan masalah kesehatan
yang cukup serius. Berikut efek samping kortikosteroid, yaitu:
Efek samping
jangka pendek
·
Peningkatan tekanan cairan di mata (glaukoma)
·
Retensi cairan, menyebabkan pembengkakan di tungkai.
·
Peningkatan tekanan darah
·
Peningkatan deposit lemak di perut, wajah dan leher
bagian belakang.
Efek samping
jangka panjang.
·
Katarak
·
Penurunan kalsium tulang yang menyebabkan osteoporosis
dan tulang rapuh sehingga mudah patah.
·
Menurunkan produksi hormon oleh kelenjar adrenal
·
Menstruasi tidak teratur
·
Mudah terinfeksi
·
Penyembuhan luka yang lama
2.2.9
Klasifikasi dan Contoh Obat
Klasifikasi :
1.
Hidrokortison.
2.
Prednison: prednison, metilprednisolon, budesonida.
3.
Derivat 9-alfa-flour: triamsinolon, deksametason,
betametason, halsinonida.
4.
Derivat 6-alfa-flour: fluokortolon, flunisolida
5.
Derivat diflour: fluosinonida, flumetason,
diflukortolon, flutikason.
6.
Derivat klor: beklometason, mometason.
7.
Derivat klor-flour: klobetasol, klobetason,
fluklorolon, halometason.
Contoh
Obat :
KENACORT
Generik :
Triamsinolon
Kategori :
Obat Resep (Gol. Obat Keras, Gol.G)
Subkategori :
Obat-obat Hormonal
Indikasi :
Artritis reumatoid dan demam reumatoid, asma bronkhial, rinitis
vasomotor, leukemia, limfosarkoma, penyakit Hodgkin, fibrosis paru, bursitis
akut.
Kontra Indikasi :
Tuberkulosa aktif, tersembunyi, atau yang telah sembuh, psikosis (penyakit jiwa
atas dasar kelainan organik atau gangguan emosi yang ditandai dengan kehancuran
kepribadian dan kehilangan kontak dengan kenyataan, seringkali dengan delusi,
halusinasi, atau ilusi) akut.
Efek Samping : Patah
tulang yang spontan, ulkus peptikum, keadaan Cushingoid, purpura, kemerahan
pada kulit, berkeringat, jerawat, stria, hirsutisme (pertumbuhan rambut
berlebihan pada wanita menurut pola pertumbuhan rambut laki-laki), vertigo,
sakit kepala, tromboembolisme, nekrosis aseptik, angiitis nekrotisasi,
pankreatitis akut, esofagitis ulseratifa, kelemahan otot, peningkatan tekanan
intrakranial, papiledema, kemungkinan katarak subkapsular.
Kemasan :
Tablet 4 mg x 100 biji.
Dosis :
Dewasa : 4-48 mg/hari.
DEXAMETHASONE
Indikasi : Dexamethasone
Harsen adalah obat anti inflamasi dan anti alergi yang sangat kuat. Sebagai
perbandingan Dexamethasone 0.75 mg setara obat sbb: 25 mg Cortisone, 20 mg
hydrocortisone, 5 mg prednisone, 5 mg prednisolone.
Kontra Indikasi :
- Dexamethasone Harsen tidak boleh diberikan pada penderita herpes simplex pada
mata; tuberkulose aktif, peptio ulcer aktif atau psikosis kecuali dapat
menguntungkan penderita.
-
Jangan diberikan pada wanita hamil karena akan terjadi
hypoadrenalism pada bayi yang dikandungnya atau diberikan dengan dosis yang
serendah-rendahnya.
Komposisi : - Tiap tablet Dexamethasone
Harsen mengandung :
Dexamethasone ................. 0.5 mg.
Dexamethasone ................. 0.5 mg.
Dexamethasone ................. 0.75 mg.
-
Tiap ml injeksi Dexamethasone Harsen mengandung:
Dexamethasone
Sodium phosphat ..... 5 mg.
Uraian dan Penggunaan :
Dexamethasone Harsen adalah obat anti inflamasi dan anti alergi yang sangat
kuat. Sebagai perbandingan Dexamethasone 0.75 mg setara obat sbb: 25 mg
Cortisone, 20 mg hydrocortisone, 5 mg prednisone, 5 mg prednisolone.
Dexamethasone Harsen praktis tidak mempunyai aktivitas mineral conticoid
dari cortisone dan hydrocortisone, sehingga pengobatan untuk kekurangan
adrenocotical tidak berguna.
Obat ini
digunakan sebagai glucocorticoid khususnya: untuk anti inflamasi, pengobatan
rheumatik arthritis dan penyakit colagen lainnya, alergi dermatitis dll,
penyakit kulit, penyakit inflamasi pada masa dan kondisi lain dimana terapi
glukocorticoid berguna lebih menguntungkan seperti penyakit leukemia tertentu
dan lymphomas dan inflamasi pada jaringan lunak dan anemia hemolytica.
Efek Samping : -
Pengobatan yang berkepanjangan dapat mengakibatkan efek katabolik steroid
seperti kehabisan protein, osteoporosis dan penghambatan pertumbuhan anak.
- Penimbunan garam, air dan kehilangan potassium jarang terjadi bila dibandingkan dengan beberapa glucocorticoid lainnya.
- Penimbunan garam, air dan kehilangan potassium jarang terjadi bila dibandingkan dengan beberapa glucocorticoid lainnya.
- Penambahan nafsu makan dan berat badan lebih sering terjadi.
Dosis :
Dewasa:
Oral : 0.5
mg - 10 mg per hari
(rata-rata 1.5 mg - 3 mg per hari)
Parenteral : 5 mg - 40 mg per hari
Untuk keadaan yang darurat diberikan intra vena atau intra muskular.
Anak-anak:
0.08 mg - 0.3 mg/kg berat badan/perhari dibagi dalam 3 atau 4 dosis.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar