Kamis, 26 Juni 2014

FARMAKOLOGI-ENZIM DAN KORTIKOSTEROID



FARMAKOLOGI
ENZIM DAN KORTOKOSTEROID




Disusun Oleh :
( Kelompok 16 )
Ristiana Laraswati (13032)
Santi Erdi (13033)







AKADEMI KEBIDANAN YASPEN TUGU IBU
Jl. Taruna Jaya No. 34A Bulak Sereh Cibubur Jakarta Timur
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya, kami sebagai tim penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul “Farmakologi Enzim dan Kortikosteroid”, untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing mata kuliah KDK II. Selain itu juga, makalah ini diharapkan mampu menjadi sumber pembelajaran bagi kita semua untuk mengerti lebih jauh tentang farmakologi enzim dan kortikosteroid, mengenai farmako kinetiknya, farmako dinamiknya, biotransformasinya, ekskresinya, dll .
Makalah ini dibuat dengan meninjau beberapa sumber dan menghimpunnya menjadi kesatuan yang sistematis. Terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak yang menjadi sumber referensi bagi kami. Terimakasih juga kepada dosen pembimbing dan semua pihak yang terkait dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca sekalian. Kami dari tim penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.


Jakarta, 10 Maret 2013
Tim Penyusun


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................
1.1  LATAR BELAKANG.................................................................................................
1.2  RUMUSAN MASALAH.............................................................................................
1.3  TUJUAN......................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................
2.1  ENZIM.........................................................................................................................
2.1.1        Farmakokonetik Enzim....................................................................................
2.1.2        Farmakodinamik Enzim...................................................................................
2.1.3        Fungsi Enzim...................................................................................................
2.1.4        Kegunaan Enzim..............................................................................................
2.1.5        Efek Samping...................................................................................................
2.1.6        Obat..................................................................................................................
2.1.7        Spesilite............................................................................................................
2.2  KORTIKOSTEROID...................................................................................................
2.2.1        Farmakokinetik Kortikosteroid........................................................................
2.2.2        Farmakodinamik Kortikosteroid......................................................................
2.2.3        Biotransformasi Kortikosteroid.......................................................................
2.2.4        Ekskresi............................................................................................................
2.2.5        Indikasi.............................................................................................................
2.2.6        Kontra Indikasi.................................................................................................
2.2.7        Dosis................................................................................................................
2.2.8        Contoh Obat.....................................................................................................
BAB III PENUTUP.................................................................................................................
3.1 KESIMPULAN............................................................................................................
3.2 SARAN........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  ENZIM
Enzim atau fermen adalah senyawa-senyawa organik, lazimnya protein yang dapat mengakibatkan atau mempercepat  reaksi biokimia berdasarkan proses katalisa. Enzim ini hanya bekerja sebagai katalisator organ terhadap reaksi-reaksi dari subtrat spesifik. Kegiatan enzim  tergantung kepada suhu, derajat keasaman (pH) dan konsentrasi ion-ion.

Nama dari enzim dibentuk dari nama subtrat atau nama reaksi yang dipercepatnya, dengan menambahkan akhiran ase.
Urease             : enzim pengurai ureum
Protease           : enzim pengurai protein
Lipase              : enzim pengurai lemak/ lipida
Reduktase       : enzim yang mempercepat reduksi
Hidrolase         : enzim yang mempercepat hidrolisa

2.1.1 Farmakokinetik Enzim
Description: Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/96/Simple_mechanism.svg/300px-Simple_mechanism.svg.png
Mekanisme reaksi enzimatik untuk sebuah subtrat tunggal. Enzim (E) mengikat substrat (S) dan menghasilkan produk (P).
Enzim dapat mengatalisasi reaksi dengan kelajuan mencapai jutaan reaksi per detik. Sebagai contoh, tanpa keberadaan enzim, reaksi yang dikatalisasi oleh enzim orotidina 5'-fosfat dekarboksilase akan memerlukan waktu 78 juta tahun untuk mengubah 50% substrat menjadi produk. Namun, apabila enzim tersebut ditambahkan, proses ini hanya memerlukan waktu 25 milidetik. Laju reaksi bergantung pada kondisi larutan dan konsentrasi substrat. Kondisi-kondisi yang menyebabkan denaturasi protein seperti temperatur tinggi, konsentrasi garam yang tinggi, dan nilai pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menghilangkan aktivitas enzim. Sedangkan peningkatan konsentrasi substrat cenderung meningkatkan aktivitasnya.
Beberapa enzim beroperasi dengan kinetika yang lebih cepat daripada laju difusi. Hal ini tampaknya sangat tidak mungkin. Beberapa mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan fenomena ini. Beberapa protein dipercayai mempercepat katalisis dengan menarik substratnya dan melakukan pra-orientasi substrat menggunakan medan listrik dipolar.
2.1.2 Farmakodinamika Enzim
Dinamika internal enzim berhubungan dengan mekanisme katalis enzim tersebut. Dinamika internal enzim adalah pergerakan bagian struktur enzim, misalnya residu asam amino tunggal, sekelompok asam amino, ataupun bahwa keseluruhan domain protein. Pergerakan ini terjadi pada skala waktu yang bervariasi, berkisar dari beberapa femtodetik sampai dengan beberapa detik. Jaringan residu protein di seluruh struktur enzim dapat berkontribusi terhadap katalisis melalui gerak dinamik. Gerakan protein sangat vital, namun apakah vibrasi yang cepat atau lambat maupun pergerakan konformasi yang besar atau kecil yang lebih penting bergantung pada tipe reaksi yang terlibat. Namun, walaupun gerak ini sangat penting dalam hal pengikatan dan pelepasan substrat dan produk, adalah tidak jelas jika gerak ini membantu mempercepat langkah-langkah reaksi reaksi enzimatik ini. Penyingkapan ini juga memiliki implikasi yang luas dalam pemahaman efek alosterik dan pengembangan obat baru.
2.1.3 Penghasil enzim
Enzim dihasilkan oleh :
·         Mikroorganisme (bakteri atau jamur), misalnya lipase, amilase, streptokinase, penisilinase, dll.
·         Tumbuh-tumbuhan, dimana zat-zat ini dipisahkan dan kadang-kadang dalam bentuk kristal, misalnya papase (dari carica papaya) dan bromelin (dari annanas sativum)
Berdasarkan senyawa atau gugusan yang terkandung dalam enzim, maka enzim dapat dibedakan atas :
·         Gugus protein, disebut juga apo enzim
·         Gugus non protein, disebut juga gugusan prostetik atau koenzim. Kelompok ini berperan dalam metabolisme sel-sel tubuh. Contohnya vitamin B1, nikotinamida, dll.

2.1.4   Fungsi Enzim
Enzim- enzim berfungsi dalam :
·         Proses pencernaan dengan menguraikan lemak, protein dan karbohidrat
·         Reaksi-reaksi yang bertalian dengan proses pernapasan
·         Efek-efek dari vitamin berkenaan dengan kerja dari enzim-enzim, misalnya defisiensi suatu vitamin, sebenernya kekurangan enzim
·         Keseimbangan hormon-hormon supaya terpelihara dengan sintesa-sintesa hormon atau penguraian hormon yang berlebihan oleh antagonisnya, misalnya kelebihan hormon insulin diurai oleh insulinase : kumulasi hormon-hormon nor adrenalin atau aserilkoin pada organ-organ ujung diurai oleh MAO dan kolinesterasi
·         Melindungi jaringan tubuh terhadap efek-efek enzim yang dihasilkannya, misalnya zat perintang tripsin yang dapat meniadakan kelebihan tripsin.

2.1.5   Kegunaan enzim
·         Sebagai penolong dalam pencernaan
·         Membersihkan dan menyembuhkan luka-luka, dengan cara mencernakan secara selektif jaringan-jaringan yang mati tanpa merusak jaringan yang sehat, termasuk juga melindungi saluran darah yang mengelilingi luka tersebut.
·         Menghilangkan radang atau bengkak yang berguna pada pengobatan luka-luka.
·         Sebagai anti koagulasi, untuk menguraikan molekul-molekul fibrin yang menyebabkan pembekuan darah dan gumpalan-gumpalan darah pada pengobatan trombosis, tromboflebitis. Misalnya streptokinase
Sebagai pembantu dalam diagnose (diagnostic enzyme) :
1.      Glukosa oksidase, untuk menentukan kadar glukosa dalam urine pada diabetes
2.      Uricase, untuk menentukan kadar asam urat dalam darah, antara lain pada gangguan ginjal, encok, dll.
3.      Analisa kadar enzim laktat dehidrogenase dalam serum darah, menenjukan adanya jaringan yang mati disuatu tempat pada tubuh karena kekurangan darah, antara lain karena adanya penyakit kanker atau thrombosis koroner.
2.1.6   Efek samping
Efek sampingnya sedikit sekali, antara lain alergi terhadap streptokinase atas dasar enzim adalah protein yang merupakan antigen dan merangsang pembentukan antibodi. Tapi hal ini jarang sekali terjadi.

2.1.7   Obat
·         Enzim-enzim pankreas dan pepsin
·         Bromelin atau Ananase
Protease dari Ananac sativum, yang berkhasiat juga sebagai anti radang
·         Papase atau prolase
Enzim proteolitik yang didapatkan dari Carica papaya, yang juga berkhasiat sebagai penghilang bengkak-bengkak
·         Streptokinase dan streptodornase
Diperoleh dari bakteri streptococcus haemolyticus. Terutama streptokinase bersifat fibrinolitik yang menguraikan fibrin, mengencerkan serta melarutkan nanah yang kental dan darah yang beku. Penggunaan pada pengobatan thrombosis koroner (infark jantung) dan menyembuhkan infeksi bernanah. Enzim ini mempertinggi efek penggunaan antibiotika.
·         Fibrinolisin
Diperoleh sebagai hasill penguraian enzim lain yaitu streptokinase terhadap profibrinolisis atau plasminogen yang inaktif. Deperoleh dari  plasma manusia. Efek sampingnya berupa reaksi alergi.

2.1.7 Spesilite

No
Nama Generik
Nama Dagang
Sediaan
Produsen
1
Enzym Pencernaan
Lihat obat pencernaan


2
Bromelin / pencreatin
Benozym




Elsazym
Per tablet salut gula :
Bromelin + pancreatin + Ox Bile
Per tablet salut gula :
Bromelin + pancreatin
Bernofarm




Otto
3
Papain / pancreatin
Vitazym
Per Dragee :
Papain + pancreatin + ox bile +curcuma + liver extr + vitamin / mineral
Kalbe farma
4
Streptokinase (enzyme fibrinolitik)
Fimaikinase


Streptase
250.000 IU, 750.000 IU. 1.500.000 IU/ vial
750.000 IU, 1.500.000 IU /  vial
Kalbe farma


Dexa Medica


2.2      KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni:
1.      Glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. 
2.      Mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal.

2.2.1        Farmakokinetik Kortikosteroid
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik. Untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester kortisol dan derivate sintetiknya diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang lama kortisol dan ester diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein.
Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang synovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.
Pada kejadian normal, 90% kortisol terikat pada dua jenis protein plasma yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatnya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kafasitas ikatnya relative tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal, sebagian besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah hormone yang terikat albumin dan bebas juga meningkat , sedangkan yang terikat globulin sedikit mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk berikatan denga globulin pengikat kortikosteroi; kortisol mempunyai afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonyugasi dengan asam glukuronad dan aldosteron afinitasnya rendah.
Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan kadar globulin pengikat kortikosteroid, kortisol plasma total dan kortisol bebas sampai beberapa kali. Telah diketahui bahwa hal ini tidak terlalu bermakna terhadap fungsi tubuh.

2.2.2        Farmakodinamik Kortikosteroid
Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.
Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh mekanisme nontranskripsi.

2.2.3        Biotransformasi Kortikosteroid
Biotransformasi steroid terjadi didalam dan diluar hati. Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang aktif memiliki ikatan rangkap pada atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3. Reduksi ikatan rangkap C4,5 terjadi di dalam hati dan jaringan ekstrahepatik serta menghasilkan senyawa inaktif. Perubahan gugus keton menjadi gugus hidroksil hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil reduksi gugus keton pada atom C3 melalui gugus hidroksinya secara enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau asam glukuronad membentuk ester yang mudah larut dan kemudian diekskresi. Reaksi ini terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil di ginjal.
Oksidasi gugus 11- hidroksil yang reversible terjadi secara cepat di hepar dan secara lambat di jaringan ekstrahepetik. Untuk aktifitas biologiknya kortikosteroid dengan gugus keton pada atom C11 harus direduksi menjadi senyawa 11-hidroksil; sedangkan reduksi gugus keton pada atom C20 hanya memberikan senyawa dengan aktifitas biologik yang lemah.
Kortikosteroid dengan gugus hidroksil pada atom C17 akan dioksidasi menjadi 17-ketosteroid yang tidak mempunyai aktifitas kortikosteroid tetapi bersifat androgenik. Adanya sekresi 17-ketosteroid dalam urin dapat dipakai sebagai ukuran aktifitas hormone kortikosteroid dalam tubuh.

2.2.4        Ekskresi
Setelah penyuntikan IV steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu 72 jam di ekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang di ekskresi mengalami metabolism di hepar. Masa paruh eliminasi kortisol sekitsr 1,5 jam. Adanya ikatan rangkap dan atom C1-2 atau subtitusi atom flour memperlambat proses metabolism dan karenanya dapat memperpanjang masa paruh eliminasi.

2.2.5        Indikasi
2.2.5.1           Terapi Substitusi
Pemberian kortikosteroid disini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri (insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder).
·           Insufisiensi adrenal akut
Keadaan ini umunya disebabkan oleh kelainan pada adrenal atau oleh penghentian pengobatan kortikosteroid dosis besar secara tiba-tiba.
·           Insufisiensi adrenal kronik
 Kelainan akibat operasi atau lesi korteks adrenal ini dapat diatasai dengan pemberian 20-30 mg perhari dalam dosis terbagi (20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada sore hari). Banyak pasien memerlukan juga mineralokortikoid fluorokortison asetat denga dosis 0,1 -0,2 mg perhari; atau cukup dengan kortison dan diet tinggi gara. Terapi tergantung dari keadaan pasien dalam rasa kesegaran badannya ( well being), nafsu makan, berat badan, kekuatan otot, timbulnya pigmentasi, tekanan darah dan tidak adanya hipotensi ortostatik.
·           Hiperplasia adrenal kongenital
Pada penyakit turunan ini terjadi defisiensi aktifitas salah satu atau lebih enzim yang diperlukan untuk biosintesis kortikosteroid. Karena produksi kortisol dan atau aldosteron berkurang dan tidak terjadi reaksi umpan balik negative, maka produksi hormon steroid lain bertambah. Dalam hal ini gejala klinik yang timbul, hasil pemeriksaan laboratorium dan terapinya, tergantung dari jenis enzim yang terganggu.
·           Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis
Gejala utama insufisiensi adrenal ini adalah hipoglikemia, sedangkan keseimbangan air dan elektrolit normal karena sekresi aldosteron tetap normal. Terapi subsitusi dengan kortisol, pagi hari 20mg dan sore 10 mg, disesuaikan dengan siklus diumal sekresi adrenal. Sesudah insufisiensi adrenal terkendali, dapat ditambahkan tiroid. Sebab bila langsung diberikan tiroid tanpa kortisol mungkin terjadi insufisiensi adrenal akut.

2.2.5.2           Terapi Non Endokrin
Di bawah ini dibahas beberapa penyakit yang bukan merupakan kelainan adrenal atau hipofisis, tetapi diobati dengan glukokortikoid. Dasar pemakaian kortikosteroid disisni adalah efek anti-inflamasinya dan kemampuan menekan reaksi imun. Pada penyakit yang dasarnya respon imun, obat ini bermanfaat. Pada keadaan yang perlu penanganan reaksi radang atau reaksi imun untuk mencegah kerusakn jaringan yang parah dan menimbulakn kecacatan, pengguanaan kortikosteroid mungkin berbahaa sehingga perlu disertai dengan penanganan tepat bagi penyebabnya. Yang dipakai adalah preparat kerja singkat dan kerja sedang misalnya prednisone atau prednisolone dengan dosis serendah mungkin. Kemungkinan efek samping harus terus dimonitor.
·           Fungsi paru pada Fetus
 Penyempurnaan fungsi paru fetus dipengaruhi sekresi kortisol pada fetus. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi kepada ibu hamil akan membantu pematangan fungsi paru pada fetus yang akan dilahirkan premature sehingga resiko terjadi respiratory distress syndrome, perdarahan intraventrikular dan kematian berkurang. Betamethasone atau Dexamethasone selama 2 hari diberiakan pada minggu ke 27 sampai 34 kehamilan. Dosis telalu banyak akan menganggu berat badan dan perkembangan kelenjar adrenal fetus.
·           Artritis
 Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien atritis rheumatoid yang sifatnya progresif, dengan pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat sehingga pasien tidak dapat bekerja, meskipun telah diberikan istirahat, terapi fisik dan obat golongan anti inflamasi nonsteroid.
·           Karditis Reumatik
Karena belum ada bukti kortikosteroid lebih baik salisilat, sedangakan resiko penggunaan kortikosteroid lebih besar, maka pengobatan karditis reumatik dimulai dengan salisilat. Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan akut, pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan salisilat saja, atau sebagai terapi permulaan pada pasien dalam keadaan sakit keras dengan demam, payah jantung akut, aritmia dan perikardithis.

·           Penyakit Ginjal
Kortikosteroid dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik yang disebabkan lupus eritematosus sistemik atau penyakit ginjal primer, kecuali amiloidosis.
·           Penyakit Kalogen
Pemberian dosis besar (prednisone 1-2 mg/kg atau sediaan lain yang ekuivalen ) bermanfaat untuk eksaserbasi akut; sedangakn terapi jangka panjang hasilnya bervariasi. Glukokortikoid dapat menurunkan mordibitas dan memperpanjang masa hidup pasien poliartritis nodosa dan granulomatosis Wegener.
·           Asma Bronkial dan Penyakit Saluran Napas lainnya
Respon asama terhadap farmakoterapi bervariasi antar individu, sehingga dapat ditemuka pasien yang resisten terhadap steroi meskipun jarang dan tidak menunjukkan hasil baik dengan inhalasi steroid. Kortikosteroid saat ini diberikan segera pada serangan akut pasien asam bronchial akut maupun kronik untuk mengatasi secara cepat radang yang ternyata selalul terjadi pada saat serangan asma.
·           Penyakit Alergi
Gejala penyakit alergi yang hanya berlangsung dalam waktu tertentu, dapat diatasi dengan glukokortikoid sebagai obat tambahan disamping obat primernya; misalnya pada penyakit serum, urtikaria, dermatitis kontak, reaksi obat, edema angioneurotik. Pada reaksi yang gawat, misalnya anafilaksis dan edema angioneurotikglotis, diperlukan pemberian adrenalin dengan segera. Pada keadaan yang mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dapat diberikan IV.
·           Penyakit Mata
Kortikosteroid dapat mengatasi gejala inflamasi mata bagian luar maupun pada segmen anterior.
·           Penyakit Kulit
Bermacam-macam kelainan kulit dapat diobati dengan sediaan steroid topical. Yang harus diperhatikan ialah kadar kandungan steroidnya.
·           Penyakit Hepar
Uji klinis menunjukkan bahwa glukokortikoid dapat memperpanjang masa hidup pasien nekrosis hepar subakut dan hepatitis kronik aktif, hepatitis alkoholik dan sirosis non alkoholik pada wanita.
·           Keganasan
Leukemia limfositik akut dan limfoma dapat diatasi dengan glukokortikoid karena efek antilimfositiknya. Prednisone biasanya digunakan bersama alkilator, antimetbolit dan alkaloid vinka. Selam pengobatan selain evaluasi klinik perlu dilakukan pemeriksaan darah dan sumsum tulang.
·           Gangguan Hematologik Lain
Anemia hemolitik autoimun yang idiopatik maupun yang acquired member respon yang baik terhadap terapi steroid. Obat ini tidak akn mengurangi hemolisis pada reaksi transfuse, meski mungkin dapat mengurangi hemolisis yang diinduksi oleh obat (drug-induced hemolisis).
·           Syok
Kortikosteroid sering digunakan untuk mengatasi syok. Pada syok anafilaktik mungkin manfaatnya adalah melalui efek permisif yaitu membuat adrenalin bekerja lebih baik mengatasi syok tersebut, adrenalin tetap meripakn obat utama yang harus diberikan. Untuk syok septic, sampai sekarang masih banyak pertentangan pendapat.
·           Edema Serebral
Glukokortikoid sangat efektif untuk mencegah atau mengobati edema serebral Karena parsit atau tumor otak, terutama pada kasus metastasis.
·           Trauma Sumsum Tulang Belakang
Uji klinik multisentra membuktikan manfaat metilprednisolone dosis besar (30 mg/kgBB dilanjutkan infuse 5,4 mg/kgBB perjam selama 23 jam), sebelum 8 jam setelah trauma akan mengurangi gejala neurologis.

2.2.6        Kontra Indikasi
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolute kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relative dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu, kontraindikasi relative yaitu diabetes mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lain patut diperhatikan. Dalam hal yang terakhir ini dibutuhkan pertimbangan matang antara resiko dan keuntungan sebelum obat diberikan.

2.2.7        Dosis
Kecuali untuk terapi subtitusi pada defisiensi, penggunaan kortikosteroid pada awalnya lebih banyak bersifat empiris. Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu diperhatikan sebelum obat ini digunakan: (1) Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu kewaktu sesuai dengan perubahan penyakit; (2) Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umunya tidak berbahaya; (3) Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar; (4) Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis melabihi dosis subsitusi, insiden efek samping dan efek letal potensial akan bertambah; dosis ekivalen hidrokortisol 100 mg/hari lebih dari 2 minggu hampir selalu menimbulkan iatrogenic cushing syndrome. Bila terpaksa pasien harus juga diberi diet tinggi protein dan kalium. Awasi dan sadari resiko pengaruhnya terhadap metabolisme, terutama bila gejala terkait telah muncul misalnya diabetes yang resisten insulin, osteoporosis, lambatanya penyembuhan luka; (5) Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti inflamasinya; (6) Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif. Dosis ini ditentukan secara rial and error. Pada keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, misalnya untuk mengurangi nyeri pada arthritis rheumatoid, dosis awal harus kecil kemudian secara bertahap ditingkatkan sampai keadaan tersebut mereda dan dapat ditoleransi pasien. Kemudian dalam periode singkat dosis harus diturunkan bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul kembali. Bila penggunaan bertujuan mengatasi keadaan yang dapat mengancam pasien, misalnya pemfigus maka dosis awal haruslah cukup besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat dilipat gandakan. Dalam hal ini, sebelum mengambil keputusan, dokter harus dapat mempertimbangkan antara bahaya pengobatan dan bahaya akibat penyakit sendiri.
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik.
Besarnya dosis glukokortikoid yang dapat menyebabkan supresi hipofisis dan korteks adrenal ternyata sangat bervariasi dan belum dapat dipastikan dengan tepat. Umumnya, makin besar dosis dan maikn lama waktu pengobatan, makin besar kemungkinan terjadinya supresi tersebut. Untuk mengurangi resiko supresi hipofisis adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari tetapi cara ini tidak dapat diterapkan untuk semua penyakit. Sediaan yang masa kerjanya panjang juga tidak dapat diberikan menurut cara ini.

2.2.8        Efek Samping Obat
Sampai saat ini ratusan produk kortikosteroid tersedia di pasaran. Layaknya obat lainnya, kortikosteroid juga beresiko menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan, bahkan beberapa efek sampingnya dapat menimbulkan masalah kesehatan yang cukup serius. Berikut efek samping kortikosteroid, yaitu:

Efek samping jangka pendek
·         Peningkatan tekanan cairan di mata (glaukoma)
·         Retensi cairan, menyebabkan pembengkakan di tungkai.
·         Peningkatan tekanan darah
·         Peningkatan deposit lemak di perut, wajah dan leher bagian belakang.

Efek samping jangka panjang.
·      Katarak
·      Penurunan kalsium tulang yang menyebabkan osteoporosis dan tulang rapuh sehingga mudah patah.
·      Menurunkan produksi hormon oleh kelenjar adrenal
·      Menstruasi tidak teratur
·      Mudah terinfeksi
·      Penyembuhan luka yang lama

2.2.9        Klasifikasi dan Contoh Obat
Klasifikasi :
1.         Hidrokortison.
2.         Prednison: prednison, metilprednisolon, budesonida.
3.         Derivat 9-alfa-flour: triamsinolon, deksametason, betametason, halsinonida.
4.         Derivat 6-alfa-flour: fluokortolon, flunisolida
5.         Derivat diflour: fluosinonida, flumetason, diflukortolon, flutikason.

6.         Derivat klor: beklometason, mometason.
7.         Derivat klor-flour: klobetasol, klobetason, fluklorolon, halometason.

Contoh  Obat :
KENACORT
Generik                       : Triamsinolon
Kategori                      : Obat Resep (Gol. Obat Keras, Gol.G)
Subkategori                 : Obat-obat Hormonal
Indikasi                       : Artritis reumatoid dan demam reumatoid, asma bronkhial,  rinitis vasomotor, leukemia, limfosarkoma, penyakit Hodgkin, fibrosis paru, bursitis akut.
Kontra Indikasi           : Tuberkulosa aktif, tersembunyi, atau yang telah sembuh, psikosis (penyakit jiwa atas dasar kelainan organik atau gangguan emosi yang ditandai dengan kehancuran kepribadian dan kehilangan kontak dengan kenyataan, seringkali dengan delusi, halusinasi, atau ilusi) akut.
Efek Samping             : Patah tulang yang spontan, ulkus peptikum, keadaan Cushingoid, purpura, kemerahan pada kulit, berkeringat, jerawat, stria, hirsutisme (pertumbuhan rambut berlebihan pada wanita menurut pola pertumbuhan rambut laki-laki), vertigo, sakit kepala, tromboembolisme, nekrosis aseptik, angiitis nekrotisasi, pankreatitis akut, esofagitis ulseratifa, kelemahan otot, peningkatan tekanan intrakranial, papiledema, kemungkinan katarak subkapsular.
Kemasan                     : Tablet 4 mg x 100 biji.
Dosis                           : Dewasa : 4-48 mg/hari.

DEXAMETHASONE
Indikasi                       : Dexamethasone Harsen adalah obat anti inflamasi dan anti alergi yang sangat kuat. Sebagai perbandingan Dexamethasone 0.75 mg setara obat sbb: 25 mg Cortisone, 20 mg hydrocortisone, 5 mg prednisone, 5 mg prednisolone.
Kontra Indikasi           : - Dexamethasone Harsen tidak boleh diberikan pada penderita herpes simplex pada mata; tuberkulose aktif, peptio ulcer aktif atau psikosis kecuali dapat menguntungkan penderita.
-          Jangan diberikan pada wanita hamil karena akan terjadi hypoadrenalism pada bayi yang dikandungnya atau diberikan dengan dosis yang serendah-rendahnya.
Komposisi                   : - Tiap tablet Dexamethasone Harsen mengandung :
Dexamethasone ................. 0.5 mg.
Dexamethasone ................. 0.75 mg.
-          Tiap ml injeksi Dexamethasone Harsen mengandung:
Dexamethasone Sodium phosphat ..... 5 mg.
Uraian dan Penggunaan          : Dexamethasone Harsen adalah obat anti inflamasi dan anti alergi yang sangat kuat. Sebagai perbandingan Dexamethasone 0.75 mg setara obat sbb: 25 mg Cortisone, 20 mg hydrocortisone, 5 mg prednisone, 5 mg prednisolone.
Dexamethasone Harsen praktis tidak mempunyai aktivitas mineral conticoid dari cortisone dan hydrocortisone, sehingga pengobatan untuk kekurangan adrenocotical tidak berguna.
Obat ini digunakan sebagai glucocorticoid khususnya: untuk anti inflamasi, pengobatan rheumatik arthritis dan penyakit colagen lainnya, alergi dermatitis dll, penyakit kulit, penyakit inflamasi pada masa dan kondisi lain dimana terapi glukocorticoid berguna lebih menguntungkan seperti penyakit leukemia tertentu dan lymphomas dan inflamasi pada jaringan lunak dan anemia hemolytica.
Efek Samping             : - Pengobatan yang berkepanjangan dapat mengakibatkan efek katabolik steroid seperti kehabisan protein, osteoporosis dan penghambatan pertumbuhan anak.
- Penimbunan garam, air dan kehilangan potassium jarang terjadi bila dibandingkan dengan beberapa glucocorticoid lainnya.
- Penambahan nafsu makan dan berat badan lebih sering terjadi.
 Dosis                          : Dewasa:
Oral : 0.5 mg - 10 mg per hari
(rata-rata 1.5 mg - 3 mg per hari)
Parenteral : 5 mg - 40 mg per hari
Untuk keadaan yang darurat diberikan intra vena atau intra muskular.
Anak-anak: 0.08 mg - 0.3 mg/kg berat badan/perhari dibagi dalam 3 atau 4 dosis.


BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar