KONSEP
DASAR INFEKSI NOSOKOMIAL
PENCEGAHAN
DAN PENANGGULANGAN
DALAM
TATANAN PELAYANAN KESEHATAN
Disusun
Oleh :
1. Bella
Pertiwi
2. Indi
Puspa Dewi
3. Martha
Evi
4. Meynarwati
Rahma
5. Radita
Febriza
6. Rifa
Ronita
7. Ristiana
Laraswati
8. Windi
Melati D.
AKADEMI
KEBIDANAN YASPEN TUGU IBU
Jl. Taruna Jaya No. 34A Bulak Sereh
Cibubur Jakarta Timur
Tahun Ajaran 2013-2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya, kami
sebagai tim penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan
tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul “Konsep Dasar
Infeksi Nosokomial Pencegahan dan Penanggulangannya dalam Tatanan Kesehatan”,
untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing mata kuliah mikrobiologi.
Selain itu juga, makalah ini diharapkan mampu menjadi sumber pembelajaran bagi
kita semua untuk mengerti tentang konsep dasar infeksi nosokomial serta upaya
pencegahan dan penanggulangannya dalam tatanan kesehatan.
Makalah ini dibuat dengan meninjau
beberapa sumber dan menghimpunnya menjadi kesatuan yang sistematis. Terimakasih
kami ucapkan kepada semua pihak yang menjadi sumber referensi bagi kami.
Terimakasih juga kepada dosen pembimbing dan semua pihak yang terkait dalam
pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berguna
bagi pembaca sekalian. Kami dari tim penyusun menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik
konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.
Jakarta, 15
November 2013
Tim Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR..................................................................................................................
DAFTAR
ISI.................................................................................................................................
BAB
I.
PENDAHULUAN............................................................................................................
A. Tujuan...............................................................................................................................
B. Latar
Belakang..................................................................................................................
C. Rumusan
Masalah.............................................................................................................
BAB
II. TINJAUAN
PUSTAKA..................................................................................................
A. Definisi
Infeksi..................................................................................................................
B. Definisi
Infeksi Nosokomial.............................................................................................
C. Epidemologi......................................................................................................................
D. Rantai
Penularan Infeksi...................................................................................................
E. Faktor Penyebab Perkembangan Infeksi Nosokomial......................................................
F. Upaya Pencegahan Infeksi
Nosokomial...........................................................................
G. Kewaspadaan
Isolasi.........................................................................................................
BAB III.
PENUTUP.....................................................................................................................
A. Kesimpulan.......................................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA..................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Tujuan
·
Mengerti definisi dari infeksi
nosokomial
·
Mengetahui mekanisme terjadinya infeksi
nosokomial
·
Mengetahui upaya pencegahan dan
penanggulangan infeksi nosokomial
B. Latar Belakang
Kemampuan untuk
mencegah transmisi infeksi di Rumah Sakit dan upaya pencegahan infeksi adalah
tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Dalam pemberian
pelayanan yang bermutu, seorang petugas kesehatan harus memiliki kemampuan
untuk mencegah infeksi dimana hal ini memiliki keterkaitan yang tinggi dengan
pekerjaan karena mencakup setiap aspek penanganan pasien.
Kebutuhan
untuk pengendalian infeksi nosokomial akan semakin meningkat terlebih lagi
dalam keadaan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan seperti yang telah
dihadapi Indonesia saat ini. Indikasi rawat pasien akan semakin ketat, pasien
akan datang dalam keadaan yang semakin parah, sehingga perlu perawatan yang
lebih lama yang juga berarti pasien dapat memerlukan tindakan invasif yang
lebih banyak. Secara keseluruhan berarti daya tahan pasien lebih rendah dan
pasien cenderung untuk mengalami berbagai tindakan invasif yang akan memudahkan
masuknya mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial.
Saat ini, masalah infeksi nosokomial makin banyak mendapat
perhatian para ahli karena di samping dapat meningkatkan morbilitas maupun
mortalitas, juga menambah biaya perawatan dan obat-obatan, waktu dan tenaga
yang pada akhirnya akan membebani pemerintah/rumah sakit, personil rumah sakit
maupun penderita dan keluarganya. Hal ini jelas bertentangan dengan kebijaksanaan
pembangunan bidang kesehatan yang justru menekankan peningkatan efisiensi
pelayanan kesehatan.
Cara penularan melalui tenaga kesehatan ditempatkan sebagai penyebab yang paling
utama infeksi nosokomial. Penularan melalui tangan tenaga kesehatan dapat
secara langsung karena tangan yang kurang bersih atau secara tidak langsung
melalui peralatan yang invasif. Dengan tindakan mencuci tangan secara benar
saja kejadian infeksi nosokomial dapat mencapai 50% apalagi jika tidak mencuci
tangan. Peralatan yang kurang steril, air yang terkontaminasi kuman, cairan
desinfektan yang mengandung kuman, sering meningkatkan risiko infeksi
nosokomial.
C. Rumusan Masalah
·
Definisi Infeksi Nosokomial
·
Mekanisme terjadinya infeksi nosokomial
·
Upaya pencegahan dan pengendalian
infeksi nosokomial
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Infeksi
Infeksi
adalah kolonisasi
yang dilakukan oleh spesies asing terhadap organisme inang, dan bersifat pilang
membahayakan inang. Organisme penginfeksi, atau patogen,
menggunakan sarana yang dimiliki inang untuk dapat memperbanyak diri, yang pada
akhirnya merugikan inang. Patogen mengganggu fungsi normal inang dan dapat
berakibat pada luka kronik, gangrene, kehilangan organ tubuh, dan bahkan
kematian. Respons inang terhadap infeksi disebut peradangan.
Secara umum, patogen umumnya dikategorikan sebagai organisme mikroskopik,
walaupun sebenarnya definisinya lebih luas, mencakup bakteri,
parasit,
fungi,
virus,
prion,
dan viroid.
B. Definisi Infeksi Nosokomial
Infeksi
Nosokomial (Nosocomial Infections) adalah infeksi yang didapat penderita
ketika penderita itu dirawat disarana pelayanan kesehatan, baik itu puskesmas,
klinik, maupun rumah sakit. Secara umum, pasien yang masuk
rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi
kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah
terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan
gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru dapat disebut infeksi
nosokomial.
”Health-care
Associated Infections (HAIs)” merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi di pelayanan kesehatan. HAIs selama ini dikenal sebagai Infeksi Nosokomial atau disebut juga
sebagai Infeksi di rumah sakit ”Hospital-Acquired Infections” merupakan
persoalan serius karena dapat menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung
kematian pasien. Kalaupun tak berakibat kematian, pasien dirawat lebih
lama sehingga pasien harus membayar biaya rumah sakit yang lebih banyak.
Pasien,
petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok yang
berisiko mendapat HAIs. Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien
kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau
keluarga maupun dari petugas kepada pasien. Dengan demikian akan menyebabkan
peningkatan angka morbiditas, mortalitas, peningkatan lama hari rawat dan
peningkatan biaya rumah sakit.
Infeksi nosokomial bersumber pada
peralatan kedokteran, makanan minuman, udara, debu, air limbah, bahan-bahan
desinfektan, dokter, perawat, bidan, laboran, staff, pengunjung, penderita yang
dirawat, hewan yang berada di lingkungan sarana pelayanan kesehatan, misalnya
nyamuk lalat dan masih banyak lagi yang berada di lingkungan sarana pelayanan
kesehatan.
Dalam kasus ini, jenis yang paling sering adalah
infeksi luka bedah, infeksi saluran kemih, dan saluran pernafasan bagian bawah
(pneumonia). Tingkat paling tinggi terjadi di unit perawatan khusus, ruang
rawat bedah dan ortopedi serta pelayanan obstetri (seksio sesarea). Tingkat
paling tinggi dialami oleh pasien usia lanjut, mereka yang mengalami penurunan
kekebalan tubuh (HIV/AIDS, pengguna produk tembakau, penggunaan kortikosteroid
kronis), TB yang resisten terhadap berbagai obat dan mereka yang menderita
penyakit bawaan yang parah.
C. Epidemologi
Infeksi
nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di negara
miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih
menjadi penyebab utama. Suatu penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan
bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa,
Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi
nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0%.
Walaupun ilmu pengetahuan dan penelitian
tentang mikrobiologi meningkat pesat pada 3 dekade terakhir dan sedikit demi
sedikit resiko infeksi dapat dicegah, tetapi semakin meningkatnya pasien-pasien
dengan penyakit immunocompromised, bakteri yang resisten antibiotik, infeksi
virus dan jamur, dan prosedur invasif masih menyebabkan infeksi nosokomial
menimbulkan kematian sebanyak 88.000 kasus setiap tahunnya.
Selain
itu, jika kita bandingkan kuman yang ada di masyarakat, mikroorganisme yang
berada di rumah sakit lebih berbahaya dan lebih resisten terhadap obat. Oleh
karena itu, diperlukan antibiotik yang lebih poten atau suatu kombinasi
antibiotik. Semua kondisi ini dapat meningkatkan resiko infeksi kepada pasien.
D. Rantai Penularan Infeksi
Pengetahuan
tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena apabila satu mata rantai
dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Komponen
yang diperlukan sehingga terjadi penularan adalah :
- Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi. Pada manusia dapat berupa bakteri , virus, ricketsia, jamur dan parasit. Dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : patogenitas, virulensi, dan jumlah (dosis, atau load).
- Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umumadalah manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya. Pada manusia: permukaan kulit, selaput lendir saluran nafas atas, usus dan vagina.
- Port of exit (Pintu keluar) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan reservoir. Pintu keluar meliputi : saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan membrana mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.
4.
Transmisi (cara penularan) adalah
mekanisme bagaimana transport agen infeksi dari reservoir ke penderita
(yang suseptibel). Ada beberapa cara penularan yaitu :
§ Kontak (contact
transmission) :
ü Direct/Langsung:
kontak badan ke badan transfer kuman penyebab secara fisik pada saat pemeriksaan
fisik, memandikan pasien.
ü Indirect/Tidak
langsung (paling sering) : kontak melalui objek (benda/alat) perantara :
melalui instrumen, jarum, kasa, tangan yang tidak dicuci.
§ Droplet :
partikel droplet > 5 μm melalui batuk, bersin, bicara, jarak sebar pendek, tidak
bertahan lama di udara, “deposit” pada mukosa konjungtiva, hidung, mulut contoh
: Difteria, Pertussis, Mycoplasma, Haemophillus influenza type b
(Hib), Virus Influenza, mumps, rubella
§ Airborne :
partikel kecil ukuran < 5 μm, bertahan lama di udara, jarak
penyebaran jauh, dapat terinhalasi, contoh: Mycobacterium tuberculosis, virus
campak, Varisela (cacar air), spora jamur
§ Melalui
Vehikulum : Bahan yang dapat berperan dalam mempertahankan kehidupan
kuman penyebab sampai masuk (tertelan atau terokulasi) pada pejamu yang rentan.
Contoh: air, darah, serum, plasma, tinja, makanan
§ Melalui
Vektor : Artropoda (umumnya serangga) atau binatang lain yang dapat
menularkan kuman penyebab cara menggigit pejamu yang rentan atau menimbun
kuman penyebab pada kulit pejamu atau makanan. Contoh: nyamuk, lalat,
pinjal/kutu, binatang pengerat
5.
Port of entry (Pintu masuk) adalah tempat
dimana agen infeksi memasuki pejamu (yang suseptibel). Pintu masuk bisa melalui
: saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin,
selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka).
6.
Pejamu rentan (suseptibel) adalah
orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang cukup untuk melawan agen
infeksi serta mencegah infeksi atau penyakit. Faktor yang mempengaruhi: umur,
status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma
atau pembedahan, pengobatan imunosupresan. Sedangkan faktor lain yang
mungkin berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status
ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan herediter.
E. Faktor Penyebab
Perkembangan Infeksi Nosokomial
1.
Agen
infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam
mikroorganisme selama dirawat di rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai
macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena
banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial.
Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada :
§ karakteristik
mikroorganisme
§ resistensi
terhadap zat-zat antibiotika
§ tingkat
virulensi, dan
§ banyaknya
materi infeksius
Semua
mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan
infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang
didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora
normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan
infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor
eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan
benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah
sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu
ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada
orang normal.
2. Respon
dan toleransi tubuh pasien
Faktor
terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh pasien dalam
hal ini adalah :
§ Usia
§ Status
imunitas penderita
§ Penyakit
yang diderita
§ Obesitas
dan malnutrisi
§ Orang
yang menggunakan obat-obatan
§ Imunosupresan
dan steroid
§ Intervensi
yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi
Usia
muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap
infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis
seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan AIDS.
Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi dari
kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan yang bersifat
immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Banyaknya
prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi,
kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan resiko
infeksi.
3. Infeksi
melalui kontak langsung dan tidak langsung
Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung
atau tidak langsung dengan penyebab infeksi. Penularan infeksi ini dapat
melalui tangan, kulit dan baju, seperti golongan staphylococcus aureus.
Dapat juga melalui cairan yang diberikan intravena dan jarum suntik, hepatitis
dan HIV. Peralatan dan instrumen kedokteran. Makanan yang tidak steril, tidak
dimasak dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan terjadinya infeksi
silang.
4.
Resistensi
antibiotika
Seiring dengan penemuan dan penggunaan
antibiotika penicillin antara tahun 1950-1970, banyak penyakit yang
serius dan fatal ketika itu dapat diterapi dan disembuhkan. Bagaimana pun juga,
keberhasilan ini menyebabkan penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan dari
antibiotika. Banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten.
Meningkatnya resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas terutama
terhadap pasien yang immunocompromised. Resitensi dari bakteri
ditransmisikan antar pasien dan faktor resistensinya dipindahkan antara
bakteri. Penggunaan antibiotika yang terus-menerus ini justru meningkatkan
multiplikasi dan penyebaran strain yang resisten. Penyebab utamanya karena :
§ Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak
terkontrol
§ Dosis
antibiotika yang tidak optimal
§ Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang
terlalu singkat
§ Kesalahan
diagnosa
Banyaknya pasien yang
mendapat obat antibiotika dan perubahan dari gen yang resisten terhadap
antibiotika mengakibatkan timbulnya multiresistensi kuman terhadap obat-obatan
tersebut. Penggunaan antibiotika secara besar-besaran untuk terapi dan
profilaksis adalah faktor utama terjadinya resistensi. Banyak strain dari pneumococci,
staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah
resisten terhadap banyak antibiotika, begitu juga klebsiella dan pseudomonas
aeruginosa juga telah bersifat multiresisten. Keadaan ini sangat nyata
terjadi terutama di negara-negara berkembang dimana antibiotika lini kedua
belum ada atau tidak tersedia.
Infeksi
nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit,
serta menjadi sangat penting karena meningkatnya jumlah penderita yang dirawat,
seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit, pengobatan atau umur,
mikororganisme yang baru (mutasi), dan Meningkatnya resistensi bakteri terhadap
antibiotika.
5.
Faktor
alat
Dari suatu penelitian klinis, infeksi
nosokomial terutama disebabkan infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus,
infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia.
Pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti.
Di ruang penyakit dalam, diperkirakan 20-25% pasien memerlukan terapi infus.
Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis, fisis dan
kimiawi. Komplikasi tersebut berupa :
§ Ekstravasasi
infiltrat : cairan infus
masuk ke jaringan sekitar insersi kanula
§ Penyumbatan : Infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa dapat
dideteksi adanya gangguan lain
§ Flebitis : Terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri sepanjang
vena
§ Trombosis : Terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh vena yang
menghambat aliran infus
§ Kolonisasi
kanul : Bila sudah dapat
dibiakkan mikroorganisme dari bagian kanula yang ada dalam pembuluh darah
§ Septikemia
: Bila kuman menyebar hematogen
dari kanul
§ Supurasi : Bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul
Beberapa
faktor di bawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula intravena
yaitu: jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi, kateter
yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipasang pada tungkai bawah,
tidak mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan darah
transfusi karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan
pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering pada
kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi tempat infus
dan bakteremia.
F. Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial
Program
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sangat penting untuk melindungi
pasien, petugas juga pengunjung dan keluarga dari resiko tertularnya infeksi
karena dirawat, bertugas, juga berkunjung ke suatu rumah sakit atau fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya. Keberhasilan program PPI perlu keterlibatan lintas
profesional: Klinisi, Perawat, Laboratorium, Kesehatan Lingkungan, Farmasi, Gizi,
IPSRS, Sanitasi & Housekeeping, dan lain-lain sehingga perlu wadah
berupa Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Proses
terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas penjamu,
agen infeksi (pathogenesis, virulensi dan dosis) serta cara penularan.
Identifikasi faktor resiko pada penjamu dan pengendalian terhadap infeksi
tertentu dapat mengurangi insiden terjadinya infeksi (HAIs), baik pada pasien
ataupun pada petugas kesehatan.
Strategi pencegahan dan pengendalian
infeksi terdiri dari :
- Peningkatan daya tahan penjamu, dapat berupa pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh.
- Inaktivasi agen penyebab infeksi, dapat dilakukan metode fisik maupun kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi) dan memasak makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi.
- Memutus mata rantai penularan. Merupakan hal yang paling mudah untuk mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya bergantung kepeda ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan. Tindakan pencegahan ini telah disusun dalam suatu “Isolation Precautions” (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari 2 pilar/tingkatan, yaitu “Standard Precautions” (Kewaspadaan Standar) dan “Transmission based Precautions” (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan).
- Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP) terhadap petugas kesehatan. Berkaitan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya. Penyakit yang perlu mendapatkan perhatian adalah hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV.
G. Kewaspadaan Isolasi
Mikroba
penyebab HAIs dapat ditransmisikan oleh pasien terinfeksi/kolonisasi kepada
pasien lain dan petugas. Bila kewaspadaan isolasi diterapkan dengan benar
dapat menurunkan risiko transmisi dari pasien infeksi/kolonisasi. Tujuan
kewaspadaan isolasi adalah menurunkan transmisi mikroba infeksius
diantara petugas dan pasien. Kewaspadaan Isolasi harus diterapkan
kewaspadaan isolasi sesuai gejala klinis,sementara menunggu hasil laboratorium
keluar.
Kewaspadaan
Isolasi merupakan kombinasi dari :
·
Kewaspadaan Standar
Kewaspadaan standar berlaku untuk
semua pasien, kemungkinan atau terbukti infeksi, setiap waktu di semua unit
pelayanan kesehatan. Kewaspadaan standar disusun untuk mencegah
kontaminasi silang sebelum diagnosis diketahui dan beberapa merupakan praktek
rutin, meliputi :
- Kebersihan tangan/Hand hygiene
- Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung), face shield (pelindungwajah), dan gaun
- Peralatan perawatan pasien
- Pengendalian lingkungan
- Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen
- Kesehatan karyawan / Perlindungan petugas kesehatan
- Penempatan pasien
- Hygiene respirasi/Etika batuk
- Praktek menyuntik yang aman
- Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi
1.
Pentingnya Hand Hygiene/Kebersihan
Tangan
ü Hal utama dalam PPI
ü Pilar PPI
ü Komponen sentral dari Patient
Safety
ü Sederhana dan efektif mencegah HAIs
ü Menciptakan lingkungan yang aman
ü Pelayanan kesehatan aman
Bagaimana cara mencuci tangan yang
baik?
**) Penggunaan sarung tangan tidak
dapat menggantikan peran mencuci tangan.
**) Tidak
dapat di aplikasikan bila tangan terkontaminasi kotoran kasat mata seperti
cairan darah.
Kapan waktunya mencuci tangan?
·
Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi
Tujuan untuk
memutus rantai penularan mikroba penyebab infeksi. Diterapkan pada pasien
gejala/dicurigai terinfeksi atau kolonisasi kuman penyebab infeksi menular yang
dapat ditransmisikan lewat udatra, droplet, kontak kulit atau permukaan
terkontaminasi.
Tiga jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi :
§ Kewaspadaan transmisi kontak
§ Kewaspadaan transmisi droplet
§ Kewaspadaan transmisi airborne
Kewaspadaan
berdasarkan transmisi dapat dilaksanakan secara terpisah ataupun kombinasi karena
suatu infeksi dapat ditransmisikan lebih dari satu cara.
§ Kewaspadaan Transmisi Kontak
Penempatan pasien :
ü Kamar tersendiri atau kohorting ( Penelitian
tidak terbukti kamar tersendiri mencegah HAIs)
ü Kohorting ( management MDRo )
APD petugas :
ü Sarung tangan bersih non steril,
ganti setelah kontak bahan infeksius, lepaskan sarung tangan sebelum
keluar dari kamar pasien dan cuci tangan menggunakan antiseptik
ü Gaun, lepaskan gaun sebelum
meninggalkan ruangan
Transport
pasien :
ü Batasi kontak saat transportasi
pasien
§ Kewaspadaan Transmisi Droplet
Penempatan
pasien :
ü Kamar tersendiri atau kohorting,
beri jarak antar pasien >1m
ü Pengelolaan udara khusus tidak
diperlukan, pintu boleh terbuka
APD petugas
:
ü Masker Bedah/Prosedur, dipakai saat
memasuki ruang rawat pasien
Transport
pasien :
ü Batasi transportasi pasien,
pasangkan masker pada pasien saat transportasi
ü Terapkan hyangiene respirasi dan
etika batuk
§
Kewaspadaan Transmisi Udara/Airborne
Penempatan
pasien :
ü Di ruangan tekanan negatif
ü Pertukaran udara > 6-12
x/jam,aliran udara yang terkontrol
ü Jangan gunakan AC sentral, bila
mungkin AC + filter HEPA
ü Pintu harus selalu tertutup rapat.
ü kohorting
ü Seharusnya kamar terpisah, terbukti
mencegah transmisi, atau kohorting jarak >1 m
ü Perawatan tekanan negatif sulit,
tidak membuktikan lebih efektif mencegah penyebaran
ü Ventilasi airlock à ventilated
anteroom terutama pada varicella (lebih mahal)
ü Terpisah jendela terbuka (TBC
), tak ada orang yang lalu lalang
APD petugas :
ü Minimal gunakan Masker
Bedah/Prosedur
ü Masker respirator (N95) saat petugas
bekerja pada radius <1m dari pasien,
ü Gaun
ü Goggle
ü Sarung tangan
(bila
melakukan tindakan yang mungkin menimbulkan aerosol)
Transport
pasien :
ü Batasi transportasi pasien, pasien
harus pakai masker saat keluar ruangan
ü Terapkan hyangiene respirasi dan
etika batuk
Catatan :
Kohorting adalah menempatkan pasien
terinfeksi atau kolonisasi patogen yang sama di ruang yang sama, pasien
lain tanpa patogen yang sama dilarang masuk.
Peraturan Untuk Kewaspadaan Isolasi
Harus dihindarkan transfer mikroba pathogen antar
pasien dan petugas saat perawatan pasien rawat inap, sehingga perlu diterapkan
hal-hal berikut :
- Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi dan sekresi dari seluruh pasien
- Dekontaminasi tangan sebelum dan sesudah kontak diantara pasien satu lainnya
- Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan cairan tubuh)
- Gunakan teknik tanpa menyentuh bila memungkinkan terhadap bahan infeksius
- Pakai sarung tangan saat atau kemungkinan kontak darah dan cairan tubuh serta barang yang terkontaminasi, disinfeksi tangan segera setelah melepas sarung tangan. Ganti sarung tangan antara pasien
- Penanganan limbah feses, urine, dan sekresi pasien lain di buang ke lubang pembuangan yang telah disediakan, bersihkan dan disinfeksi bedpan, urinal dan obtainer/container pasien lainnya
- Tangani bahan infeksius sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)
- Pastikan peralatan, barang fasilitas dan linen pasien yang infeksius telah dibersihkan dan didisinfeksi benar
Jadi,
upaya pencegahan infeksi
nosokomial oleh tenaga kesehatan termasuk bidan diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring
dan program yang termasuk :
§ Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien
dengan cara mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan
aseptik, sterilisasi dan disinfektan.
§ Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
§ Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang
adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi.
§ Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan
prosedur invasif.
§ Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit, dan mengontrol penyebarannya.
Terdapat beberapa prosedur dan
tindakan pencegahan infeksi nosokomial. Tindakan ini merupakan seperangkat
tindakan yang didesain untuk membantu meminimalkan resiko terpapar material
infeksius seperti darah dan cairan tubuh lain dari pasien kepada tenaga
kesehatan atau sebaliknya. Menurut Zarkasih, pencegahan infeksi didasarkan pada
asumsi bahwa seluruh komponen darah dan cairan tubuh mempunyai potensi
menimbulkan infeksi baik dari pasien ke tenaga kesehatan atau sebaliknya. Kunci
pencegahan infeksi pada fasilitas pelayanan kesehatan adalah mengikuti prinsip
pemeliharaan hygene yang baik, kebersihan dan kesterilan dengan lima standar
penerapan yaitu:
- Mencuci tangan untuk menghindari infeksi silang. Mencuci tangan merupakan metode yang paling efektif untuk mencegah infeksi nosokomial, efektif mengurangi perpindahan mikroorganisme karena bersentuhan
- Menggunakan alat pelindung diri untuk menghindari kontak dengan darah atau cairan tubuh lain. Alat pelindung diri meliputi; pakaian khusus (apron), masker, sarung tangan, topi, pelindung mata dan hidung yang digunakan di rumah sakit dan bertujuan untuk mencegah penularan berbagai jenis mikroorganisme dari pasien ke tenaga kesehatan atau sebaliknya, misalnya melaui sel darah, cairan tubuh, terhirup, tertelan dan lain-lain.
- Manajemen alat tajam secara benar untuk menghindari resiko penularan penyakit melalui benda-benda tajam yang tercemar oleh produk darah pasien. Terakit dengan hal ini, tempat sampah khusus untuk alat tajam harus disediakan agar tidak menimbulkan injuri pada tenaga kesehatan maupun pasien.
- Melakukan dekontaminasi, pencucian dan sterilisasi instrumen dengan prinsip yang benar. Tindakan ini merupakan tiga proses untuk mengurangi resiko tranmisi infeksi dari instrumen dan alat lain pada klien dan tenaga kesehatan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Infeksi
nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita ketika penderita itu dirawat
disarana pelayanan kesehatan, baik itu puskesmas, klinik, maupun rumah sakit, biasanya
gejala timbul 72 jam pasca penderita
dirawat di pelayanan kesehatan tersebut.
Infeksi nosokomial dapat bersumber pada peralatan kedokteran, makanan
minuman, udara, debu, air limbah, bahan-bahan desinfektan, dokter, perawat,
bidan, laboran, staff, pengunjung, penderita yang dirawat, hewan yang berada di
lingkungan sarana pelayanan kesehatan, misalnya nyamuk lalat dan masih banyak
lagi yang berada di lingkungan sarana pelayanan kesehatan
Banyak upaya
yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan terjadinya infeksi
nosokomial. Yang perlu menjadi fokus perhatian dalam upaya ini adalah rantai
penularan infeksi. Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting
karena apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat
dicegah atau dihentikan.
Penelaahan
tentang rantai penularan infeksi melahirkan suatu upaya pencegahan berupa
kewaspadaan isolasi, yang meliputi kewaspadaan standar dan kewaspadaan
transmisi.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar